Jumat, 18 Maret 2011

Balada Sebelas Buruh Tani

Kalo lagi sibuk, ga usah dibaca, ga penting!!

Alkisah di sebuah desa di negeri antah berantah, pada masa penjajahan di masa itu, tersebutlah sebelas buruh tani yang mencari sesuap nasi dan secangkir teh. Buruh-buruh tani yang masih baru ini merantau ke sebuah desa yang jauh dari tempat tinggal mereka, berharap mendapatkan penghidupan yang lebih baik daripada kehidupan yang sebelumnya, dengan iming-iming penghasilan yang lumayan.

Mereka bekerja pada tuan-tuan tanah asing dari bangsa penjajah, berlapiskan kekerenan dan keglamoran yang terlihat dari luar, walaupun dalamnya tak seindah luarnya. Sayang seribu sayang, mereka berharap akan diberi lahan untuk bertani dan mencari nafkah, namun janji-janji akan lahan untuk mereka garap tidak pernah ditepati. Mereka hanya dipekerjakan di kantor lurah, untuk meneliti bibit-bibit padi yang akan dikirim ke sawah, yang lahannya pun tidak pernah mereka lihat.

Penghasilan mereka ternyata tidak jauh berbeda dengan sekretaris, atau bahkan penjaga warnet..Walaupun pekerjaan yang mereka lakukan tidaklah ringan. Bahkan segala fasilitas mereka di "cut-cost", untuk menyelamatkan aset perusahaan yang tinggal sedikit. Oleh karena itu, pengeluaran mereka pun bertambah banyak melebihi pengeluaran sekretaris ataupun penjaga warnet di kota-kota besar.

Jangan tanya kenaikan jabatan menjadi mandor, karena bagai pungguk merindukan bulan. Buruh tani sepertinya akan tetap menjadi buruh tani, kecuali ada keajaiban. Lagipula, menjadi mandor pun tidak jauh lebih baik, karena tarif lahan sekarang mengalami penurunan. Dan sepertinya tidak ada yang bisa dilakukan.

Beberapa mandor mengajukan protes, sebagian di belakang, tidak berani di depan karena banyak cicilan keluarga, banyak tanggungan..Sebagian lagi berani bersuara, mengorbankan harta dan tahtanya. Mandor jenis ini namanya mandor pejuang, berani memperjuangkan apa yang diyakininya bener, juga untuk membela kawannya sesama mandor. Buruh-buruh tani salut walau dalam hati, tidak berani bersuara.

Namun, tuan-tuan tanah ini, penjajah tetap penjajah, dan sepertinya buruh tani, juga mandor, memang senang dijajah. Kalau tidak suka, lebih baik jangan jadi buruh tani di desa ini, lebih baik jadi kurir, sekretaris, atau penjaga warnet saja di kota besar. Mungkin memang tidak ada yang harus diubah.

Dan kaum penjajah dan kaum priyayi pun, hanya bisa bilang SE-KA-RANG..tanpa tahu masalahnya..dan ingin terima beres, tanpa pusing dengan bibit-bibit padinya. Mereka berharap buruh-buruh taninya yang berpikir, juga bekerja keras..bahkan untuk menyediakan dan mendistribusi bibit-bibit padi, yang seharusnya bukan pekerjaan si buruh tani. Jika ada kesalahan, buruh tani pun kena damprat tanpa ditelusuri duduk persoalannya..Dan buruh tani pun pasrah, bercampur tak peduli.

Tanpa motivasi. Gamang. Tidak peduli. BOMAT. Salah seorang buruh tani malu dengan keapatisannya kini. Teringat dengan idealismenya dulu. Sungguh dia malu.

Hanya sebuah balada, untuk melepas penat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar